“It’s My Passion”
Passion
bagiku adalah segalanya. Dimana kita bisa mencintai dan menikmati suatu hal
pada apa yang kita kerjakan. Passion adalah rasa dimana kita bisa bergairah dan
berhasrat melakukan sesuatu. Dan passion ku adalah menulis.
Entah
mengapa aku suka memikirkan hal yang ingin aku ciptakan. Hal-hal yang aku
ciptakan memang nyaris mustahil akan nyata, karena sesungguhnya hidup yang
nyata hanya Tuhan yang bisa menciptakannnya. Namun, menulis adalah jawabnya.
Dimana semua yang ingin kita ciptakan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita
semua pikirkan tertuang dalam kata-kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat.
Menulis adalah wadah penampung semua pikiran dan perasaan dalam diriku.
Aku
mulai menuangkan pikiran dan perasaanku dalam sebuah tulisan pada masa sekolah
menengah. Dimana aku merasakan jatuh cinta. Ya ... seperti gadis lainnya, saat
jatuh cinta, dirinya akan berubah menjadi seseorang yang sensitif dan puitis.
Saat itu, aku tak henti-hentinya menulis, menulis, dan menulis sampai
tumpukan-tumpukan puisi hanya menjadi pajangan meja belajarku. Namun, setelah
menulis semua puisi-puisi itu hatiku sangat lega.
Yeah,
menulis dapat melegakan hatimu, kawan! Pernahkah merasa hati ini gelisah entah
karena sedang berbunga-bungan karena jatuh cinta atau sedang gundah karena ada
masalah. Hati ini rasanya tertekan, seolah ada beban berat yang ingin
ditumpahkan. Dan pernahkah otakmu serasa penuh, beku, dan ingin meledak? Di
keadaan itu, aku mencoba membangkitkan gairahku untuk membuka netbook-ku dan
mulai mengalirkan kata-kata sesuai segenap perasaan dan pikiranku. Saat itulah,
otakku terasa kembali mencair, syaraf-syaraf yang beku di otak meregang, dan
hati ini merasa lega.
Aku
mulai menulis dan merangkai sebuah cerita yang aku ciptakan sendiri sesuai apa
yang aku pikirkan. Aku mulai menulis sebuah cerita yang sesuai dengan apa yang
aku lihat, apa yang aku dengar.
Aku
mungkin memang pernah bermimpi untuk menjadi penulis sehebat J.K Rowling dengan
Harry Potter-nya atau Stephenie Meyer dengan Twilight Saga-nya, tapi
sesungguhnya dengan menulis bukan itulah yang aku obsesikan, melainkan hanyalah
sebagai pelega hati dan pikiran. Melainkan menulis adalah kegemaran. Menulis
adalah passion.
Namun,
ada kalanya ketika aku benci dengan menulis. Ketika otak sudah habis dengan
kata-kata, ketika otak sudah tak bisa mendapatkan inspirasi. Aku memaksa otakku
bekerja keras mencari, mencari, dan mencari inspirasi untuk aku tuliskan dalam
sebuah proyek novelku, tapi hasilnya nihil. Kemudian aku menyadari, bahwa
menulis bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi menulis adalah suatu kerelaan.
Menulis yang nikmat adalah menulis dengan hati.
Menyebut
“proyek novelku” di paragraf atas, aku jadi teringat dengan novel pertama yang
aku buat, novel pertama-ku sekaligus penolakan pertama dari penerbit untukku.
Aku memang terlalu dini untuk membuat sebuah novel teenlit, maksudku bukan
terlalu dini dari faktor usia, tetapi terlalu dini untuk menentukan karakter
dari tulisanku sendiri. Aku hanya berparadigma, aku menulis dan aku akan merasa
lega. Jadi, semua kata-kata aku tuangkan dalam cerita teenlit-ku. Kata-kata
dalam tulisanku menjadi tidak konsisten. Tak konsisten antara tema yang gaul
meremaja dengan karakter bahasa tulisanku yang beraroma puitis. Ketidakkonsistenan
itu yang mungkin menjadi penyebab tidak jelasnya tema yang akan aku utarakan di
novelku. Aku kemudian berpikir, aku harus segera mencari karakterku sendiri.
Ibuku
sangat senang sekali dan antusias saat aku meminta uang untuk mencetak novel
pertamaku. Ia sampai mengantarku dan menemaniku ke rental komputer untuk
mencetak cerita dengan ratusan halaman itu. Ibuku sangat mendukungku. Ia juga
yang mengantar dan menemaniku menyerahkan naskah novelku ke salah satu penerbit
di Jakarta Selatan. Aku sangat antusias, namun terdapat ketakutan dalam diri
novelku akan ditolak. Namun, Ibuku berkata “Jangan terlalu berharap, tapi
anggaplah ini sebagai pengalaman,”. Baiklah, aku mematri kata-kata ibuku
kuat-kuat dalam hati.
Meski ibuku telah
berkata jangan terlalu berharap, aku tetap berharap lebih. Berharap suatu kabar
baik datang dan menjadikan aku sebagai seseorang yang bisa dipanggil penulis.
Satu bulan berselang, bapak petugas pos datang dan mengembalikan naskah novelku
dari penerbit itu. Seharusnya aku menuruti kata-kata ibuku, tidak terlalu
berharap dan membiarkannya sebagai pengalaman yang berlalu.
Aku memegang novel
pertamaku yang telah ditolak itu, berusaha meyakinkan dan membuat diri sendiri
percaya diri bahwa novelku layak untuk diterbitkan. Namun, aku segera menyadari
baiklah memang mungkin karakter tulisanku serta ketidakjelasan tema dalam
novelku menjadi peran utama dari penolakan penerbit.
Sementara itu, ibuku
hanya tersenyum tanpa ada raut kekecewaan. Ia hanya berkata, “Jangan menyerah,”
yang membuatku kembali bangkit untuk menulis.
Dari
situ, aku memutuskan untuk membuat cerita-cerita pendek terlebih dahulu. Aku
perlahan-lahan menemukan karakter tulisanku dibantu oleh Gilang Gumilang, Dosen
Feature di kampusku. Bukan kebetulan, aku mengambil kuliah program studi
Jurnalistik sesuai dengan passion menulisku. Setiap tugas pasti berkaitan
dengan tulisan. Dan saat tugas Feature Human Interest itulah aku menemukan dan
menetapkan karakter tulisanku. Dosenku itu berkata, “Tulisanmu melankolis.
Teruskanlah, ini menjadi kelebihan tulisanmu.”
Berangkat
dari karakter melankolis, aku mulai lagi, lagi, lagi, dan lagi tanpa putus asa
untuk membuat sebuah cerita pendek. Dan akhirnya dari sekian banyak cerita
pendek yang aku buat, “Hijau Tua dan Merah Marun” berhasil diterbitkan di
sebuah majalah remaja. Aku mendapatkan pelajaran lagi, menulis dengan hati,
menulis dengan karakter yang tepat. Dan ibuku sangat senang mengetahui aku
berhasil menerbitkan tulisanku di majalah remaja itu.
Cerpen
Hijau Tua dan Merah Marun itu memang aku tulis berdasar hati. Aku saat menulis
itu sedang jatuh cinta dengan seseorang dan sedang merasa ada seseorang lain
lagi yang memberi perhatian lebih padaku. Seperti yang aku jelaskan di awal,
menulis adalah jawaban dari curahan segala perasaan. Sebelumnya, aku minta maaf
kalau terkesan curhat soal cinta. Saat itu, aku mencintai seseorang dan tak
sanggup untuk menyakiti seseorang lainnya yang memberi perhatiannya padaku.
Keduanya memintaku untuk memilih atau lebih tepatnya aku yang harus menetapkan
pilihanku. Aku sangat tidak mungkin berkata langsung bahwa aku memilih yang
satu dan tidak memilih seseorang yang satunya lagi. Maka, aku membuat sebuah
cerpen untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku menjawabnya dengan sebuah cerita
pendek. Dan kau tahu? Aku senang sekali ketika cerpenku itu diterbitkan di
majalah. Dimana keduanya bisa mengetahui apa yang sebenarnya aku rasakan. Dan
aku ingin membuktikan pada semuanya yang membaca cerpenku di majalah itu bahwa
aku tidak ingin menyakiti keduanya.
Lagi-lagi,
menulis itu sebagai pelega hati.
Namun,
terkadang menulis itu membutuhkan kepekaan yang tinggi. Selain peka terhadap
perasaan diri, juga harus peka terhadap perasaan orang lain. Aku pernah membuat
suatu tulisan yang menurutku wajar untuk aku tuliskan, tapi tidak wajar untuk
orang lain. Maksudku, ia menyindirku untuk lebih berhati-hati mengungkapkan
perasaan dalam tulisanku.
Pengalamanku
menulis semakin bertambah di kuliah Jurnalistikku. Berita, Feature, Editorial,
Opini sehari-hari aku tulis sebagai tugas harianku. Namun sekarang setelah
lulus dari kuliahku, aku memasuki dimensi yang berbeda dari Jurnalistikku,
kemampuanku menulis. Awalnya aku berpikir menjadi seorang kreatif di sebuah
televisi swasta terbesar di Indonesia, akan mematahkan kemampuanku menulis. Aku
hanya berparadigma, menjadi jurnalis adalah satu-satunya cara mengembangkan
passionku. Namun, aku kemudian bertemu dengan seorang Produser program-ku, Boim
Lebon.
Yeah,
Boim Lebon dengan Lupus-nya yang terkenal itu. Ia yang setidaknya membuka
mataku. Ia seolah membuka pikiranku bahwa kita masih bisa berkarya dengan
tulisan meski berada di sebuah perusahaan televisi. Boim Lebon selain penulis
juga pernah menjadi script writer sinetron komedi untuk beberapa televisi lain
sebelumnya.
Awalnya
aku tak terlalu mengenal Boim Lebon. Aku hanya tahu dia adalah produser dari
sebuah program yang sedang aku kerjakan. Namun, teman-teman kampusku berkata
sekaligus memberitahuku kalau ia adalah seorang penulis terkenal.
Mas
Boim, aku memanggilnya, merupakan sosok yang secara tidak langsung memberikan
pedoman untuk aku. Meski ia telah bertahun-tahun berkarya di televisi, ia juga
tetap berkarya di bidang tulis menulis. Puluhan buku komedi-nya dan ratusan
cerita pendeknya membuktikan kalau dia masih eksis sebagai penulis
Di
sela-sela meeting, aku bertanya padanya soal salah satu cerita pendek
komedinya, saking banyaknya, ia sampai lupa apa ia pernah membuat cerita itu.
Ia bercerita dengan penuh kelucuan yang ia ciptakan. Sungguh, dengan komedi-nya
itu obrolan menjadi sangat ceria dan hangat.
“Kamu
juga suka nulis?” Mas Boim bertanya padaku saat itu.
“Iya,
saya juga suka,” jawabku yakin sekaligus mengangguk.
“Udah
pernah diterbitin?” Tanyanya santai.
“Iya
pernah Mas Boim, tapi baru cerita pendek aja,” jawabku. “Terbit di majalah
remaja,” tambahku.
Mas
Boim mengangguk-angguk dan kemudian mengucapkan kata-kata yang selalu aku ingat
dan menjadi motivasi aku, “Iya ... terusin aja ... Jangan pernah berhenti
nulisnya.”
Dan
yang menganggumkan dari seorang Boim Lebon adalah meski ia sibuk sebagai
Produser yang harus memikirkan segala hal untuk programnya, ia masih
menyempatkan dirinya untuk mengalirkan kata-katanya membentuk sebuah cerita dan
mengeksistensikan dirinya sebagai penulis. Ia selalu menyempatkan dirinya menulis
seusai subuh, sebelum mengantar anak-anaknya sekolah dan sebelum dirinya
berangkat kerja.
Setelah
itu, aku selalu ingat perkataan Ibuku dan Mas Boim yang aku rangkum menjadi
satu kalimat versi diriku, “Jadikanlah sesuatunya sebagai sebuah pengalaman,
dan jangan pernah berhenti menulis.”
Berangkat
dari kalimat itu aku selalu menyempatkan diriku untuk menulis di waktu-waktu
senggang. Menulis apapun, entah itu cerita, atau hanya curahan hati semata. Aku
sering mulai mengalirkan kata-kata di laptopku merangkai menjadi sebuah cerita
setelah aku menyelesaikan pekerjaanku atau setelah aku pulang kerja.
Aku
memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Menjadi penulis terkenal.
Menjadi seorang penulis yang pikirannya, kata-kata, kalimat, dan curahatan hatinya
dapat dibaca oleh orang lain. Namun, lambat laun aku hanya menyadari bahwa
menulis adalah sebagai wadah pelegaan, pencurahan kata hati, penampung segala
pemikiran. Menjadi penulis terkenal atau tidak, yang jelas aku adalah seorang
penulis untuk diriku sendiri.