Selasa, 17 Juli 2012


“It’s My Passion”


            Passion bagiku adalah segalanya. Dimana kita bisa mencintai dan menikmati suatu hal pada apa yang kita kerjakan. Passion adalah rasa dimana kita bisa bergairah dan berhasrat melakukan sesuatu. Dan passion ku adalah menulis.
            Entah mengapa aku suka memikirkan hal yang ingin aku ciptakan. Hal-hal yang aku ciptakan memang nyaris mustahil akan nyata, karena sesungguhnya hidup yang nyata hanya Tuhan yang bisa menciptakannnya. Namun, menulis adalah jawabnya. Dimana semua yang ingin kita ciptakan, apa yang kita rasakan, dan apa yang kita semua pikirkan tertuang dalam kata-kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat. Menulis adalah wadah penampung semua pikiran dan perasaan dalam diriku.
            Aku mulai menuangkan pikiran dan perasaanku dalam sebuah tulisan pada masa sekolah menengah. Dimana aku merasakan jatuh cinta. Ya ... seperti gadis lainnya, saat jatuh cinta, dirinya akan berubah menjadi seseorang yang sensitif dan puitis. Saat itu, aku tak henti-hentinya menulis, menulis, dan menulis sampai tumpukan-tumpukan puisi hanya menjadi pajangan meja belajarku. Namun, setelah menulis semua puisi-puisi itu hatiku sangat lega.
            Yeah, menulis dapat melegakan hatimu, kawan! Pernahkah merasa hati ini gelisah entah karena sedang berbunga-bungan karena jatuh cinta atau sedang gundah karena ada masalah. Hati ini rasanya tertekan, seolah ada beban berat yang ingin ditumpahkan. Dan pernahkah otakmu serasa penuh, beku, dan ingin meledak? Di keadaan itu, aku mencoba membangkitkan gairahku untuk membuka netbook-ku dan mulai mengalirkan kata-kata sesuai segenap perasaan dan pikiranku. Saat itulah, otakku terasa kembali mencair, syaraf-syaraf yang beku di otak meregang, dan hati ini merasa lega.
            Aku mulai menulis dan merangkai sebuah cerita yang aku ciptakan sendiri sesuai apa yang aku pikirkan. Aku mulai menulis sebuah cerita yang sesuai dengan apa yang aku lihat, apa yang aku dengar.
            Aku mungkin memang pernah bermimpi untuk menjadi penulis sehebat J.K Rowling dengan Harry Potter-nya atau Stephenie Meyer dengan Twilight Saga-nya, tapi sesungguhnya dengan menulis bukan itulah yang aku obsesikan, melainkan hanyalah sebagai pelega hati dan pikiran. Melainkan menulis adalah kegemaran. Menulis adalah passion.
            Namun, ada kalanya ketika aku benci dengan menulis. Ketika otak sudah habis dengan kata-kata, ketika otak sudah tak bisa mendapatkan inspirasi. Aku memaksa otakku bekerja keras mencari, mencari, dan mencari inspirasi untuk aku tuliskan dalam sebuah proyek novelku, tapi hasilnya nihil. Kemudian aku menyadari, bahwa menulis bukan sesuatu yang dipaksakan, tetapi menulis adalah suatu kerelaan. Menulis yang nikmat adalah menulis dengan hati.
            Menyebut “proyek novelku” di paragraf atas, aku jadi teringat dengan novel pertama yang aku buat, novel pertama-ku sekaligus penolakan pertama dari penerbit untukku. Aku memang terlalu dini untuk membuat sebuah novel teenlit, maksudku bukan terlalu dini dari faktor usia, tetapi terlalu dini untuk menentukan karakter dari tulisanku sendiri. Aku hanya berparadigma, aku menulis dan aku akan merasa lega. Jadi, semua kata-kata aku tuangkan dalam cerita teenlit-ku. Kata-kata dalam tulisanku menjadi tidak konsisten. Tak konsisten antara tema yang gaul meremaja dengan karakter bahasa tulisanku yang beraroma puitis. Ketidakkonsistenan itu yang mungkin menjadi penyebab tidak jelasnya tema yang akan aku utarakan di novelku. Aku kemudian berpikir, aku harus segera mencari karakterku sendiri.
            Ibuku sangat senang sekali dan antusias saat aku meminta uang untuk mencetak novel pertamaku. Ia sampai mengantarku dan menemaniku ke rental komputer untuk mencetak cerita dengan ratusan halaman itu. Ibuku sangat mendukungku. Ia juga yang mengantar dan menemaniku menyerahkan naskah novelku ke salah satu penerbit di Jakarta Selatan. Aku sangat antusias, namun terdapat ketakutan dalam diri novelku akan ditolak. Namun, Ibuku berkata “Jangan terlalu berharap, tapi anggaplah ini sebagai pengalaman,”. Baiklah, aku mematri kata-kata ibuku kuat-kuat dalam hati.
Meski ibuku telah berkata jangan terlalu berharap, aku tetap berharap lebih. Berharap suatu kabar baik datang dan menjadikan aku sebagai seseorang yang bisa dipanggil penulis. Satu bulan berselang, bapak petugas pos datang dan mengembalikan naskah novelku dari penerbit itu. Seharusnya aku menuruti kata-kata ibuku, tidak terlalu berharap dan membiarkannya sebagai pengalaman yang berlalu.
Aku memegang novel pertamaku yang telah ditolak itu, berusaha meyakinkan dan membuat diri sendiri percaya diri bahwa novelku layak untuk diterbitkan. Namun, aku segera menyadari baiklah memang mungkin karakter tulisanku serta ketidakjelasan tema dalam novelku menjadi peran utama dari penolakan penerbit.
Sementara itu, ibuku hanya tersenyum tanpa ada raut kekecewaan. Ia hanya berkata, “Jangan menyerah,” yang membuatku kembali bangkit untuk menulis.
            Dari situ, aku memutuskan untuk membuat cerita-cerita pendek terlebih dahulu. Aku perlahan-lahan menemukan karakter tulisanku dibantu oleh Gilang Gumilang, Dosen Feature di kampusku. Bukan kebetulan, aku mengambil kuliah program studi Jurnalistik sesuai dengan passion menulisku. Setiap tugas pasti berkaitan dengan tulisan. Dan saat tugas Feature Human Interest itulah aku menemukan dan menetapkan karakter tulisanku. Dosenku itu berkata, “Tulisanmu melankolis. Teruskanlah, ini menjadi kelebihan tulisanmu.”
            Berangkat dari karakter melankolis, aku mulai lagi, lagi, lagi, dan lagi tanpa putus asa untuk membuat sebuah cerita pendek. Dan akhirnya dari sekian banyak cerita pendek yang aku buat, “Hijau Tua dan Merah Marun” berhasil diterbitkan di sebuah majalah remaja. Aku mendapatkan pelajaran lagi, menulis dengan hati, menulis dengan karakter yang tepat. Dan ibuku sangat senang mengetahui aku berhasil menerbitkan tulisanku di majalah remaja itu.
            Cerpen Hijau Tua dan Merah Marun itu memang aku tulis berdasar hati. Aku saat menulis itu sedang jatuh cinta dengan seseorang dan sedang merasa ada seseorang lain lagi yang memberi perhatian lebih padaku. Seperti yang aku jelaskan di awal, menulis adalah jawaban dari curahan segala perasaan. Sebelumnya, aku minta maaf kalau terkesan curhat soal cinta. Saat itu, aku mencintai seseorang dan tak sanggup untuk menyakiti seseorang lainnya yang memberi perhatiannya padaku. Keduanya memintaku untuk memilih atau lebih tepatnya aku yang harus menetapkan pilihanku. Aku sangat tidak mungkin berkata langsung bahwa aku memilih yang satu dan tidak memilih seseorang yang satunya lagi. Maka, aku membuat sebuah cerpen untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku menjawabnya dengan sebuah cerita pendek. Dan kau tahu? Aku senang sekali ketika cerpenku itu diterbitkan di majalah. Dimana keduanya bisa mengetahui apa yang sebenarnya aku rasakan. Dan aku ingin membuktikan pada semuanya yang membaca cerpenku di majalah itu bahwa aku tidak ingin menyakiti keduanya.
            Lagi-lagi, menulis itu sebagai pelega hati.
            Namun, terkadang menulis itu membutuhkan kepekaan yang tinggi. Selain peka terhadap perasaan diri, juga harus peka terhadap perasaan orang lain. Aku pernah membuat suatu tulisan yang menurutku wajar untuk aku tuliskan, tapi tidak wajar untuk orang lain. Maksudku, ia menyindirku untuk lebih berhati-hati mengungkapkan perasaan dalam tulisanku.
            Pengalamanku menulis semakin bertambah di kuliah Jurnalistikku. Berita, Feature, Editorial, Opini sehari-hari aku tulis sebagai tugas harianku. Namun sekarang setelah lulus dari kuliahku, aku memasuki dimensi yang berbeda dari Jurnalistikku, kemampuanku menulis. Awalnya aku berpikir menjadi seorang kreatif di sebuah televisi swasta terbesar di Indonesia, akan mematahkan kemampuanku menulis. Aku hanya berparadigma, menjadi jurnalis adalah satu-satunya cara mengembangkan passionku. Namun, aku kemudian bertemu dengan seorang Produser program-ku, Boim Lebon.
            Yeah, Boim Lebon dengan Lupus-nya yang terkenal itu. Ia yang setidaknya membuka mataku. Ia seolah membuka pikiranku bahwa kita masih bisa berkarya dengan tulisan meski berada di sebuah perusahaan televisi. Boim Lebon selain penulis juga pernah menjadi script writer sinetron komedi untuk beberapa televisi lain sebelumnya.
            Awalnya aku tak terlalu mengenal Boim Lebon. Aku hanya tahu dia adalah produser dari sebuah program yang sedang aku kerjakan. Namun, teman-teman kampusku berkata sekaligus memberitahuku kalau ia adalah seorang penulis terkenal.
            Mas Boim, aku memanggilnya, merupakan sosok yang secara tidak langsung memberikan pedoman untuk aku. Meski ia telah bertahun-tahun berkarya di televisi, ia juga tetap berkarya di bidang tulis menulis. Puluhan buku komedi-nya dan ratusan cerita pendeknya membuktikan kalau dia masih eksis sebagai penulis
            Di sela-sela meeting, aku bertanya padanya soal salah satu cerita pendek komedinya, saking banyaknya, ia sampai lupa apa ia pernah membuat cerita itu. Ia bercerita dengan penuh kelucuan yang ia ciptakan. Sungguh, dengan komedi-nya itu obrolan menjadi sangat ceria dan hangat.
            “Kamu juga suka nulis?” Mas Boim bertanya padaku saat itu.
            “Iya, saya juga suka,” jawabku yakin sekaligus mengangguk.
            “Udah pernah diterbitin?” Tanyanya santai.
            “Iya pernah Mas Boim, tapi baru cerita pendek aja,” jawabku. “Terbit di majalah remaja,” tambahku.
            Mas Boim mengangguk-angguk dan kemudian mengucapkan kata-kata yang selalu aku ingat dan menjadi motivasi aku, “Iya ... terusin aja ... Jangan pernah berhenti nulisnya.”
            Dan yang menganggumkan dari seorang Boim Lebon adalah meski ia sibuk sebagai Produser yang harus memikirkan segala hal untuk programnya, ia masih menyempatkan dirinya untuk mengalirkan kata-katanya membentuk sebuah cerita dan mengeksistensikan dirinya sebagai penulis. Ia selalu menyempatkan dirinya menulis seusai subuh, sebelum mengantar anak-anaknya sekolah dan sebelum dirinya berangkat kerja.
            Setelah itu, aku selalu ingat perkataan Ibuku dan Mas Boim yang aku rangkum menjadi satu kalimat versi diriku, “Jadikanlah sesuatunya sebagai sebuah pengalaman, dan jangan pernah berhenti menulis.”
            Berangkat dari kalimat itu aku selalu menyempatkan diriku untuk menulis di waktu-waktu senggang. Menulis apapun, entah itu cerita, atau hanya curahan hati semata. Aku sering mulai mengalirkan kata-kata di laptopku merangkai menjadi sebuah cerita setelah aku menyelesaikan pekerjaanku atau setelah aku pulang kerja.
            Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang penulis. Menjadi penulis terkenal. Menjadi seorang penulis yang pikirannya, kata-kata, kalimat, dan curahatan hatinya dapat dibaca oleh orang lain. Namun, lambat laun aku hanya menyadari bahwa menulis adalah sebagai wadah pelegaan, pencurahan kata hati, penampung segala pemikiran. Menjadi penulis terkenal atau tidak, yang jelas aku adalah seorang penulis untuk diriku sendiri.

Senin, 16 Juli 2012



Hijau Tua dan Merah Marun

Oleh: Sadryna Evanalia


Cahaya langit keemasan pudar, digantikan warna kelabu oleh awan-awan hitam. Angin semilir-semilir mendukung panggilan hujan dengan tiupan-tiupannya. Semua hampir berwarna abu-abu, kalau saja tak ada cahaya orange lampu jalan di samping halte.

Perlahan namun pasti, titik-titik air dengan tegas jatuh dari langit. Daun-daun bergoyang-goyang tertiup angin seakan bergembira helaian-helaian daunnya dibasahi hujan.

Hujan dan angin yang cukup kencang di sore itu membuatku terpaksa berteduh di sebuah halte. Halte dengan kanopi hijau tua dan tak jauh dari kampusku.

Aku membersihkan rambut ikal-ku dari titik-titik air yang sempat menghujani kepalaku. Sementara, bola mataku melirik seseorang yang tengah berdiri di arah kiriku. Ia berteduh di halte ini juga. Rambutnya panjang sebahu, lurus, namun agak ikal di tepi kanan dan kirinya. Hidungnya mencuat ke depan dan kulit wajahnya cerah.

Entahlah, siapa pun dia. Aku tidak peduli. Entah ia satu kampus denganku atau tidak. Aku belum pernah melihatnya di kampus, atau memang aku yang terlalu individualis. Menyendiri.

Pemuda itu melirik ke arahku tepat ketika aku memandanginya. Dengan satu detak jantung yang terhenti, aku mengalihkan pandanganku ke arah jalan. Aku masih bisa meliriknya dari ekor mataku.

Seseorang dengan rambut pendek yang basah karena hujan menubrukku dari luar halte.

“Maaf! Titik-titik air ini membuatku sibuk,” katanya lembut.

Aku hanya tersenyum padanya. Ia kemudian berdiri di samping kananku kira-kira sejauh dua meter. Ia masih sibuk menyeka titik-titik air di kepalanya, kemudian berlanjut mengelap kacamata-nya. Alis wajahnya tebal, hidungnya mancung, dan kulit wajahnya cerah, tetapi tidak terlalu secerah pemuda berambut panjang di samping kiriku.

Mata kiriku seperti dihunus pandangan yang tajam. Aku menyadari pemuda di sebelah kiriku memandangiku sejak tadi. Sampai akhirnya ketika titik-titik air sudah tidak terlalu tegas jatuh dari langit, aku berjalan keluar dari halte meninggalkan kedua pemuda itu. Yang paling aku ingat dari keduanya adalah warna baju mereka yang sama dengan warna bajuku. Hijau tua.


::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Menghirup wangi angin ....

Memasukkan udara air ke paru-paruku ....

Dan kau ada di sampingku ....

Itu lah saat terindah ketika hujan.


Dan binar pandangan matamu

Mencerahkan langit-langit kelabu ....

Kau tahu?

Kau seperti pelangi

Ingin rasanya ku milikki ....


Puisi ini ku temukan di dalam tasku ketika aku meninggalkannya sebentar di meja perpustakaan. Kartu merah berisi puisi itu terbalut pita emas.

Mataku refleks mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan perpustakaan. Barangkali mataku menangkap seseorang yang tidak sempat bersembunyi setelah menaruh puisi itu di dalam tasku.

Mataku tidak menemukan seorang pun yang mencurigakan. Mahasiswa-mahasiswa yang tampangnya kusut mengerjakan skripsi yang terlihat di pandanganku. Tak mungkin salah satu dari mereka rela menambah kekusutan wajahnya hanya demi memasukkan puisi aneh itu ke dalam tasku.

Aku memasukkan puisi beserta pita emas itu ke dalam tasku. Setelah memastikan buku perpustakaan yang aku pinjam ada di tangan, aku bergegas keluar dari tempat yang isinya wajah-wajah kusut.

Anak-anak tangga keluar dari perpustakaan terlihat sangat alami. Lapisan semennya sudah mengelupas memperlihatkan bata-bata orange. Di sisi-sisi anak-anak tangga itu tumbuh lumut-lumut hijau cerah. Aku juga sempat melihat beberapa semut bermain di lumut-lumut itu.

Jantungku berhenti berdetak satu irama. Pemuda berambut panjang yang berteduh satu halte denganku kemarin itu, terlihat di pandangan mataku lagi. Setiap langkahnya berat. Seperti langkah kakinya benar-benar ditarik gaya gravitasi bumi. Setiap langkah, sepatunya dihentakkan. Langkah yang dihentakkan itu membuat rambut panjang sebahunya bergoyang mengikuti irama langkahnya.

Mata kami sekilas bertabrakkan. Dan masing-masing dari kami mengalihkan pandangan.

Ketika kami berpapasan, ia menunduk. Dan yang paling aku ingat adalah warna bajunya yang sama dengan warna bajuku hari ini. Merah marun.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Hari berikutnya. Hujan masih saja mengguyur kampusku. Aku harus mengantar tugasku ke laboratorium. Dan terpaksalah, aku menghantam hujan tanpa ampun.

Tetes-tetes air menimpa jaket woll biru tua yang aku kerudungi menyelimuti rambut ikalku. Tetapi, tetap saja, tetes-tetes air itu meresap ke woll-nya dan membasahi rambutku.

                Ketika tanganku berusaha melindungi wajahku yang tertimpa hujan, aku melihat sosoknya. Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas. Kedua tangannya sibuk mengumpulkan seluruh helaian rambut panjangnya. Menariknya ke belakang dan mengikatnya dengan kunciran hitam.

Tidak ada lagi rambut panjangnya yang biasa menutupi wajah bagian samping kanan dan kirinya. Rambut panjangnya terikat rapi ke belakang membuat bentuk dan cerah wajahnya semakin jelas.


Mata kami sesaat bertabrakkan. Dan terbesit perasaan aneh dan tidak nyaman menyelimuti hatiku sejenak. Kemudian, aku langsung mengalihkan pandanganku pada titik-titik hujan yang dengan ganas menimpaku.

Hanya tatapan sekilas. Tatapan dengan seribu tanya. Tak ada senyum atau apapun. Hari ini, warna bajunya pun tidak sama lagi dengan warna bajuku. Hanya gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku. Dikuncir ke belakang.

            Aku memaksakan kakiku untuk melangkah lebih cepat. Meski, aku merasakan pandangan tajam pemuda dikuncir ke belakang itu masih menghunus ke mataku.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Langit hitam dan angin kencang bersahut-sahutan memanggil hujan. Dan pohon-pohon rindang bergoyang-goyang seirama dengan angin.

Tak sempat aku berjalan mencapai halte hijau tua di depan kampus, titik-titik air mulai menghujani jaketku. Seakan tak mau kompromi dengan kakiku yang belum mencapai halte hijau tua, titik-titik air itu semakin kejam menimpaku.

Aku melindungi kepalaku dengan tas gemblok berwarna hitam. Pandanganku hanya tertuju pada titik-titik air yang membasahi trotoar. Kemudian, badanku menubruk seseorang. Tas gemblok berwarna hitamku jatuh di trotoar yang basah. Dan air di trotoar itu menyerap ke belakang jeans panjangku. Aku terjatuh. Rasa perih menggerogoti kulit kaki kananku bagian bawah mata kaki. Kakiku terpeleset di tepi trotoar saat terjatuh.

“Maaf!” kata seseorang itu dengan suara tak jelas. Tangannya menarik lenganku dan membantuku berdiri.

Seseorang dengan helm putih bercorak garis-garis hitam memandangiku dengan penuh rasa bersalah. Mata di dalam helm itu berbingkai kacamata. Kedua bola mata yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.

“Auw!” pekikku ketika tangannya menyentuh kaki kananku. Ia mendudukanku di tempat duduk halte hijau, hendak memeriksa kaki kananku yang terluka.

“Maaf! Sudah dua kali aku menubrukmu hujan-hujan begini!” nada dengan rasa sesal mengalun dari mulutnya. Kini, ia sudah membuka helm-nya memperlihatkan alis matanya yang tebal, mata berbingkai kacamata-nya, hidung mencuatnya, bibir yang memerah, dan bentuk wajahnya yang tirus. Ia, pemuda berkacamata yang menubrukku di halte yang sama pada hari-hari sebelumnya.

Aku memandanginya dalam diam, sementara ia sibuk membuka tasnya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Setelah itu, tangannya mulai menekan luka di kakiku dengan plester berwarna kuning dengan corak dinasaurus berwarna-warni.

“Err ... maaf! Aku bisa sendiri!” kata-kata itu yang meluncur dari mulutku setelah sadar dari pikiran-pikiran di dalam otak. Padahal, plester itu sudah menempel di lukaku.

“Aku sungguh minta maaf!” katanya penuh penyesalan. Ada rasa bersalah dalam bola mata hitam kecokelatannya.

“Ksatrian!” katanya sambil mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Senyumnya menambah cerah di wajahnya.

“Karli!” aku menjemput uluran tangannya. Aku tidak menatapnya, pandanganku hanya tertuju pada jabatan kami.

Well, hujannya sudah reda. Aku harus bergegas,” katanya terlebih pada dirinya sendiri sambil memandang langit di luar halte hijau. “Sekali lagi, Karli, Aku sungguh minta maaf!” katanya lagi.

“Tidak masalah. Hanya luka kecil, kok!” jawabku sambil tersenyum.

Ia memakai helm putih bercorak garis hitamnya. Kemudian bergegas dengan motor-nya.

Aku tidak akan pernah lupa dengan bola mata hitam kecokelatannya yang terbingkai kacamata itu. Entah mengapa, ada sesuatu rasa dimana aku selalu ingin memandangnya.


::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Pita emas dan kartu merah berisi puisi yang ku temukan di dalam tas ku saat berada di perpustakaan yang lalu, membuatku penasaran. Otakku mulai timbul pertanyaan-pertanyaan seputar siapa yang memberiku puisi ini.

            Wanita akan tersentuh jika disentuh. Ya! itulah aku. Dengan jujur aku merasa tersentuh telah dikirimi pita emas dan kartu merah berisi puisi romantis seperti itu. Hingga aku berniat berusaha mencari siapa orang yang membuatnya.

            Tiba-tiba, tidak ada hembusan angin atau apapun, wajah pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas itu, muncul di pikiranku. Apakah benar dia?

            “KARLIIIII!!!!” teriakan gadis berkuncir dua dan berkacamata itu membuyarkan semua pikiran-pikiranku. Ia berlari dari luar kelas menuju tempatku duduk dengan tergesa-gesa.

            “Ada apa, Bel?” tanyaku penasaran. Aku mengernyitkan dahi.

            “Torta!” Bela mengambil nafas sejenak. “Torta!” Bela masih terengah-engah.

            “Torta? Siapa?” aku bertanya. Terlalu bingung untuk mencerna Bela yang datang tiba-tiba dengan terengah-engah sambil menyebut nama Torta yang tidak aku kenal.

            “Torta masuk rumah sakit!” Bela menghembuskan nafasnya. “Dia kecelakaan!” tambahnya.

            “Aku tak kenal dengan Torta, Bela. Siapa Torta?” aku tambah mengernyitkan dahi. Aku tidak kenal siapa Torta, lalu apa hubungannya Bela memberitahuku Torta itu masuk rumah sakit?

            “Torta! Dia butuh kamu, Karl!” Bela meyakinkanku. “Torta, cowok yang selalu perhatiin kamu dari jauh, tapi tidak kamu kenal,” jelas Bela. Nafasnya sudah teratur sekarang.

            “Cowok yang rambutnya panjang?” aku bertanya. Memastikan.

            “He-eh!” Bela mengangguk mantap.

            Seketika, seperti ada sebuah beban berton-ton yang menimpa dadaku. Sangat menyiksa. Dan kekhawatiran yang kalut. Pemuda berambut panjang yang baru saja aku pikirkan tadi terkena musibah.

            “Kita ke rumah sakit. Sekarang!” kataku sambil menarik tasku dari tempat duduk.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Entahlah. Hatiku terasa memaksa kakiku untuk melangkah menuju rumah sakit. Aku tidak mengenal pemuda itu. Tidak pernah berada dalam satu ruangan. Tidak pernah menyapa. Tidak pernah mengobrol. Tidak pernah saling tersenyum ketika berpapasan. Yang pernah hanya tatapan sekilas dengan seribu tanya. Hanya sebuah tatapan penuh tanyakah yang membuat hatiku tergerak?

            Di sebuah lorong bercat putih dengan bau khas rumah sakit, dua gadis dan dua pemuda terduduk di depan ruangan pasien. Mereka menatapku yang baru tiba dengan pandangan penuh tanya. Tatapan mereka seakan bertanya “Siapa kamu?”. Aku tidak mengetahui nama mereka, tetapi aku mengenali wajah-wajahnya. Mereka satu kampus denganku. Dan tentulah, mereka teman-teman dari pemuda berambut panjang bernama Torta.

            Tanpa ragu karena hatiku sudah menguasai kakiku untuk bergerak, aku membuka pintu kamar pasien. Bau khas rumah sakit semakin menyeruak di hidungku. Cat-cat putih bersih sangat serasi dengan langit kamar, lantai, dan satu brankar di tengah-tengah ruangan.

            “Syukurlah! Yang ditunggu dateng juga.” Pemuda berjenggot tipis dan kulit cokelatnya berkata. Ia kemudian meninggalkan seseorang di atas brankar, dan berjalan ke pintu keluar. Bela yang ada di belakangku, mengikuti pemuda itu.

            Wajah pemuda di atas brankar tampak lelah, tetapi cerah wajahnya tidak memudar sedikit pun. Matanya memandang langkahku yang bergerak mendekat. Balutan perban dengan warna merah darah di tengah-tengahnya, membungkus kaki kanannya.

            “Err ... masih sakitkah?” aku membuka obrolan. Kalimat pertanyaan yang pertama kalinya aku lontarkan pada pemuda berambut panjang itu.

            “Sedikit,” jawabnya tersenyum tipis. Tapi dari raut wajahnya ia sedikit menahan sakit di bagian kaki kanannya.

            “Karli!” aku memperkenalkan diriku. Dan ia terkekeh pelan.

            “Aku sudah tahu namamu setahun yang lalu, sebelum kamu mengenalku,” katanya.

            “Oh ...” hanya itu responku sambil tersenyum aneh. “Kenapa ini bisa terjadi? Kau kecelakaan maksudku.” Aku mencoba mengalihkan obrolan. Kata-kataku kacau.

            “Waktu tadi pagi mau berangkat ke kampus, mobil angkot menyerempet motorku dari samping,” jelasnya. “Dan kata teman-teman yang menolongku, aku memanggil-manggil namamu sepanjang aku tidak sadar.” Ia terkekeh. “Konyol sekali, kan?” tambahnya sambil tertawa.

            Penjelasannya itu membuat ada rasa aneh yang melonjak di hatiku. Perasaan aneh dan tidak nyaman. Tapi, aku berusaha tersenyum mengimbangi tertawanya.

            “Terima kasih sudah mau datang,” katanya tersenyum. Senyumnya tulus sekali menggambarkan kegembiraannya.

            “Aku senang bisa mengurangi beban sakitmu,” jawabku.

            “Aku berharap kamu bukan saja mengurangi beban sakitku, tapi juga mengurangi beban di hatiku,” katanya. Raut wajahnya seperti menimbang-nimbang apakah ini waktu yang tepat?

            “Maksud mu?” aku tak bisa mencerna perkataannya.

            “Aku ingin kau ada di hari-hariku untuk mengurangi beban hatiku yang telah menunggu setahun lebih,” jelasnya tepat, padat, dan berisi. “Aku harap kamu mau mempertimbangkannya,” tambahnya sambil tersenyum.

            Ada yang berlonjak-lonjak di sebagian hatiku, tetapi sebagian hatiku yang lain menentangnya. Seketika, tanpa ada tanda-tanda apapun, bayangan wajah pemuda berkacamata dengan bola mata hitam kecokelatannya itu, muncul di kepalaku. Aku tidak bisa melupakannya.

            Yang aku ingat saat bersama pemuda bernama Torta itu adalah gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku. Dikuncir kebelakang dengan menyisakan setengah bagian rambut di bagian bawah.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Hujan lagi. Langit mendung membuat semuanya berwarna abu-abu di mataku. Sayup-sayup gemericik angin yang membawa titik air dan membuat daun-daun berseru senang. Dan suara-suara timpaan titik air di atap halte hijau depan kampusku, menemani lamunanku yang terduduk di bangku halte sambil memegangi pita emas, dan kartu merah berisi puisi tentang hujan.

            Hanya ada aku sendiri di halte hijau. Angin semakin mencari kesempatan menusuk-nusuk kulit tubuhku. Tetapi, aku tidak peduli. Aku hanya memandangi pita emas dan puisi itu.

            Deru mesin roda dua mengalihkan pandanganku dari pita emas dan puisi yang ada di tanganku. Tiba-tiba hatiku meloncat-loncat riang gembira. Senyumku mengembang. Dan ada rasa tidak sabar ingin memandangnya.

            Ia membuka helm putih bercorak garis hitamnya. Ini sangat tidak terduga. Aku bertemu lagi dengan pemuda berkacamata bernama Ksatrian. Aku tidak sabar ketika ia membuka helm-nya untuk memperlihatkan wajah dan bola mata hitam kecokelatannya yang aku suka.

            “Tampaknya kita memang berjodoh!” katanya terkekeh. Nada suaranya sangat lembut. “Untunglah aku tidak menubrukmu lagi untuk yang ketiga kalinya,” tambahnya sambil tertawa. Ia mengambil posisi duduk di sampingku.

            “Aku sangat senang sekali kita bertemu lagi.” Aku tersenyum lebar. Senyum yang belum pernah aku berikan pada pemuda bernama Torta.

            “Sepertinya hujan memang selalu membiarkan kita untuk bersama.” Ia masih saja tersenyum. Ada kegembiraan mendalam yang aku tangkap dari bola matanya. “Sejujurnya, aku sangat senang sekali kamu ada di sampingku ketika hujan.” Ia tertawa lebar.

            Kalimatnya itu membuatku tersentak. Terkejut bukan main. Kata-katanya hampir sama seperti baris ketiga dan keempat bait pertama dalam puisi yang aku pegang. Apakah pemuda berkacamata ini yang membutanya? Mungkin aku hanya terlalu berharap.

            “Ternyata kamu masih menyimpannya. Aku pikir akan dibuang,” katanya tiba-tiba.

            “Maksudnya?”

            “Kau tahu? Sulit sekali menemukanmu di kampus itu. Aku memasuki kampus dan mencarimu esoknya setelah aku pertama kali menubrukmu di halte ini,” ia menjelaskan sambil masih tersenyum. “Akhirnya aku menemukanmu di perpustakaan. Saat itu, aku hanya ingin kau tahu betapa bahagianya aku bertemu denganmu saat hujan melalui puisi itu,” lanjutnya. Pandangannya tertuju pada puisi dan pita emas yang aku pegang.

            “Jadi singkatnya, kamu yang membuat puisi ini dan memasukkannya ke dalam tasku?” tanyaku tidak percaya. Ini sungguh keajaiban.

            “Tepat!” jawabnya sambil tersenyum senang. Kedua bola matanya berbinar-binar. “Konyol, kan?” tanyanya sambil tertawa.

            “Sangat!” aku menjawabnya. Tawaku lebar dan lepas.

            Hatiku berbunga-bunga dan berlompat-lompat sangat riang. Seluruh hatiku melompat-lompat, bukan hanya sebagian. Aku sangat berharap hujan tak akan pernah reda di sore itu, agar aku dan pemuda berkacamata bernama Ksatrian bisa terus bersama. Dan aku tak akan pernah lelah memandangi kedua bola mata hitam kecokelatannya itu.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Cuaca mulai berganti. Hujan telah reda dan matahari mulai lagi memancarkan sinar keemasannya. Hangatnya matahari yang sebenatar lagi akan tenggelam terasa sampai kulit kakiku yang melangkah menuruni tangga perpustakaan.

            Ada hentakan, tetapi tidak terlalu kuat di dalam hatiku. Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas itu menaiki tangga perpustakaan. Ia berjalan berlawanan arah dariku.

            Rambut panjang sebahunya yang tergerai itu bergoyang-goyang mengikuti irama langkahnya. Wajahnya masih saja terlihat cerah. Ia melihat ke arahku. Dan matanya memandang mataku. Kemudian bibirnya melengkung indah. Ia tersenyum. Senyuman yang sangat tulus.

            Aku membalas senyumannya. Alisku terangkat menyiratkan kata “Hai!”. Mulutku tak bisa berkata. Seperti ada yang mengunci bibirku untuk bersuara.

            Hanya itu. Kemudian kami hanya berlalu masing-masing. Bayangan wajah dan rambutnya masih berada di kepalaku ketika kakiku berlanjut menuruni tangga perpustakaan.

            Kali ini, tidak ada yang sama dari kami. Tidak ada yang sama dari warna baju. Tidak ada yang sama dari gaya rambut. Rambut lurusnya tergerai dan rambut ikalku terkuncir setengah. Yang sama hanyalah kami sama-sama tersenyum.


Kemarin, dia hanya siapa?

Hari ini, aku mengenalmu

Esok, ku melihatmu dari sudutku

Lusa, kau hanya pedulikannya

Nanti, hanya waktu yang berkata.


Aku akan tetap tersenyum saat kita bertemu

Meski kamu telah memilihnya ...


Torta          



::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::