Senin, 16 Juli 2012



Hijau Tua dan Merah Marun

Oleh: Sadryna Evanalia


Cahaya langit keemasan pudar, digantikan warna kelabu oleh awan-awan hitam. Angin semilir-semilir mendukung panggilan hujan dengan tiupan-tiupannya. Semua hampir berwarna abu-abu, kalau saja tak ada cahaya orange lampu jalan di samping halte.

Perlahan namun pasti, titik-titik air dengan tegas jatuh dari langit. Daun-daun bergoyang-goyang tertiup angin seakan bergembira helaian-helaian daunnya dibasahi hujan.

Hujan dan angin yang cukup kencang di sore itu membuatku terpaksa berteduh di sebuah halte. Halte dengan kanopi hijau tua dan tak jauh dari kampusku.

Aku membersihkan rambut ikal-ku dari titik-titik air yang sempat menghujani kepalaku. Sementara, bola mataku melirik seseorang yang tengah berdiri di arah kiriku. Ia berteduh di halte ini juga. Rambutnya panjang sebahu, lurus, namun agak ikal di tepi kanan dan kirinya. Hidungnya mencuat ke depan dan kulit wajahnya cerah.

Entahlah, siapa pun dia. Aku tidak peduli. Entah ia satu kampus denganku atau tidak. Aku belum pernah melihatnya di kampus, atau memang aku yang terlalu individualis. Menyendiri.

Pemuda itu melirik ke arahku tepat ketika aku memandanginya. Dengan satu detak jantung yang terhenti, aku mengalihkan pandanganku ke arah jalan. Aku masih bisa meliriknya dari ekor mataku.

Seseorang dengan rambut pendek yang basah karena hujan menubrukku dari luar halte.

“Maaf! Titik-titik air ini membuatku sibuk,” katanya lembut.

Aku hanya tersenyum padanya. Ia kemudian berdiri di samping kananku kira-kira sejauh dua meter. Ia masih sibuk menyeka titik-titik air di kepalanya, kemudian berlanjut mengelap kacamata-nya. Alis wajahnya tebal, hidungnya mancung, dan kulit wajahnya cerah, tetapi tidak terlalu secerah pemuda berambut panjang di samping kiriku.

Mata kiriku seperti dihunus pandangan yang tajam. Aku menyadari pemuda di sebelah kiriku memandangiku sejak tadi. Sampai akhirnya ketika titik-titik air sudah tidak terlalu tegas jatuh dari langit, aku berjalan keluar dari halte meninggalkan kedua pemuda itu. Yang paling aku ingat dari keduanya adalah warna baju mereka yang sama dengan warna bajuku. Hijau tua.


::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Menghirup wangi angin ....

Memasukkan udara air ke paru-paruku ....

Dan kau ada di sampingku ....

Itu lah saat terindah ketika hujan.


Dan binar pandangan matamu

Mencerahkan langit-langit kelabu ....

Kau tahu?

Kau seperti pelangi

Ingin rasanya ku milikki ....


Puisi ini ku temukan di dalam tasku ketika aku meninggalkannya sebentar di meja perpustakaan. Kartu merah berisi puisi itu terbalut pita emas.

Mataku refleks mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan perpustakaan. Barangkali mataku menangkap seseorang yang tidak sempat bersembunyi setelah menaruh puisi itu di dalam tasku.

Mataku tidak menemukan seorang pun yang mencurigakan. Mahasiswa-mahasiswa yang tampangnya kusut mengerjakan skripsi yang terlihat di pandanganku. Tak mungkin salah satu dari mereka rela menambah kekusutan wajahnya hanya demi memasukkan puisi aneh itu ke dalam tasku.

Aku memasukkan puisi beserta pita emas itu ke dalam tasku. Setelah memastikan buku perpustakaan yang aku pinjam ada di tangan, aku bergegas keluar dari tempat yang isinya wajah-wajah kusut.

Anak-anak tangga keluar dari perpustakaan terlihat sangat alami. Lapisan semennya sudah mengelupas memperlihatkan bata-bata orange. Di sisi-sisi anak-anak tangga itu tumbuh lumut-lumut hijau cerah. Aku juga sempat melihat beberapa semut bermain di lumut-lumut itu.

Jantungku berhenti berdetak satu irama. Pemuda berambut panjang yang berteduh satu halte denganku kemarin itu, terlihat di pandangan mataku lagi. Setiap langkahnya berat. Seperti langkah kakinya benar-benar ditarik gaya gravitasi bumi. Setiap langkah, sepatunya dihentakkan. Langkah yang dihentakkan itu membuat rambut panjang sebahunya bergoyang mengikuti irama langkahnya.

Mata kami sekilas bertabrakkan. Dan masing-masing dari kami mengalihkan pandangan.

Ketika kami berpapasan, ia menunduk. Dan yang paling aku ingat adalah warna bajunya yang sama dengan warna bajuku hari ini. Merah marun.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Hari berikutnya. Hujan masih saja mengguyur kampusku. Aku harus mengantar tugasku ke laboratorium. Dan terpaksalah, aku menghantam hujan tanpa ampun.

Tetes-tetes air menimpa jaket woll biru tua yang aku kerudungi menyelimuti rambut ikalku. Tetapi, tetap saja, tetes-tetes air itu meresap ke woll-nya dan membasahi rambutku.

                Ketika tanganku berusaha melindungi wajahku yang tertimpa hujan, aku melihat sosoknya. Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas. Kedua tangannya sibuk mengumpulkan seluruh helaian rambut panjangnya. Menariknya ke belakang dan mengikatnya dengan kunciran hitam.

Tidak ada lagi rambut panjangnya yang biasa menutupi wajah bagian samping kanan dan kirinya. Rambut panjangnya terikat rapi ke belakang membuat bentuk dan cerah wajahnya semakin jelas.


Mata kami sesaat bertabrakkan. Dan terbesit perasaan aneh dan tidak nyaman menyelimuti hatiku sejenak. Kemudian, aku langsung mengalihkan pandanganku pada titik-titik hujan yang dengan ganas menimpaku.

Hanya tatapan sekilas. Tatapan dengan seribu tanya. Tak ada senyum atau apapun. Hari ini, warna bajunya pun tidak sama lagi dengan warna bajuku. Hanya gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku. Dikuncir ke belakang.

            Aku memaksakan kakiku untuk melangkah lebih cepat. Meski, aku merasakan pandangan tajam pemuda dikuncir ke belakang itu masih menghunus ke mataku.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


Langit hitam dan angin kencang bersahut-sahutan memanggil hujan. Dan pohon-pohon rindang bergoyang-goyang seirama dengan angin.

Tak sempat aku berjalan mencapai halte hijau tua di depan kampus, titik-titik air mulai menghujani jaketku. Seakan tak mau kompromi dengan kakiku yang belum mencapai halte hijau tua, titik-titik air itu semakin kejam menimpaku.

Aku melindungi kepalaku dengan tas gemblok berwarna hitam. Pandanganku hanya tertuju pada titik-titik air yang membasahi trotoar. Kemudian, badanku menubruk seseorang. Tas gemblok berwarna hitamku jatuh di trotoar yang basah. Dan air di trotoar itu menyerap ke belakang jeans panjangku. Aku terjatuh. Rasa perih menggerogoti kulit kaki kananku bagian bawah mata kaki. Kakiku terpeleset di tepi trotoar saat terjatuh.

“Maaf!” kata seseorang itu dengan suara tak jelas. Tangannya menarik lenganku dan membantuku berdiri.

Seseorang dengan helm putih bercorak garis-garis hitam memandangiku dengan penuh rasa bersalah. Mata di dalam helm itu berbingkai kacamata. Kedua bola mata yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.

“Auw!” pekikku ketika tangannya menyentuh kaki kananku. Ia mendudukanku di tempat duduk halte hijau, hendak memeriksa kaki kananku yang terluka.

“Maaf! Sudah dua kali aku menubrukmu hujan-hujan begini!” nada dengan rasa sesal mengalun dari mulutnya. Kini, ia sudah membuka helm-nya memperlihatkan alis matanya yang tebal, mata berbingkai kacamata-nya, hidung mencuatnya, bibir yang memerah, dan bentuk wajahnya yang tirus. Ia, pemuda berkacamata yang menubrukku di halte yang sama pada hari-hari sebelumnya.

Aku memandanginya dalam diam, sementara ia sibuk membuka tasnya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Setelah itu, tangannya mulai menekan luka di kakiku dengan plester berwarna kuning dengan corak dinasaurus berwarna-warni.

“Err ... maaf! Aku bisa sendiri!” kata-kata itu yang meluncur dari mulutku setelah sadar dari pikiran-pikiran di dalam otak. Padahal, plester itu sudah menempel di lukaku.

“Aku sungguh minta maaf!” katanya penuh penyesalan. Ada rasa bersalah dalam bola mata hitam kecokelatannya.

“Ksatrian!” katanya sambil mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Senyumnya menambah cerah di wajahnya.

“Karli!” aku menjemput uluran tangannya. Aku tidak menatapnya, pandanganku hanya tertuju pada jabatan kami.

Well, hujannya sudah reda. Aku harus bergegas,” katanya terlebih pada dirinya sendiri sambil memandang langit di luar halte hijau. “Sekali lagi, Karli, Aku sungguh minta maaf!” katanya lagi.

“Tidak masalah. Hanya luka kecil, kok!” jawabku sambil tersenyum.

Ia memakai helm putih bercorak garis hitamnya. Kemudian bergegas dengan motor-nya.

Aku tidak akan pernah lupa dengan bola mata hitam kecokelatannya yang terbingkai kacamata itu. Entah mengapa, ada sesuatu rasa dimana aku selalu ingin memandangnya.


::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Pita emas dan kartu merah berisi puisi yang ku temukan di dalam tas ku saat berada di perpustakaan yang lalu, membuatku penasaran. Otakku mulai timbul pertanyaan-pertanyaan seputar siapa yang memberiku puisi ini.

            Wanita akan tersentuh jika disentuh. Ya! itulah aku. Dengan jujur aku merasa tersentuh telah dikirimi pita emas dan kartu merah berisi puisi romantis seperti itu. Hingga aku berniat berusaha mencari siapa orang yang membuatnya.

            Tiba-tiba, tidak ada hembusan angin atau apapun, wajah pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas itu, muncul di pikiranku. Apakah benar dia?

            “KARLIIIII!!!!” teriakan gadis berkuncir dua dan berkacamata itu membuyarkan semua pikiran-pikiranku. Ia berlari dari luar kelas menuju tempatku duduk dengan tergesa-gesa.

            “Ada apa, Bel?” tanyaku penasaran. Aku mengernyitkan dahi.

            “Torta!” Bela mengambil nafas sejenak. “Torta!” Bela masih terengah-engah.

            “Torta? Siapa?” aku bertanya. Terlalu bingung untuk mencerna Bela yang datang tiba-tiba dengan terengah-engah sambil menyebut nama Torta yang tidak aku kenal.

            “Torta masuk rumah sakit!” Bela menghembuskan nafasnya. “Dia kecelakaan!” tambahnya.

            “Aku tak kenal dengan Torta, Bela. Siapa Torta?” aku tambah mengernyitkan dahi. Aku tidak kenal siapa Torta, lalu apa hubungannya Bela memberitahuku Torta itu masuk rumah sakit?

            “Torta! Dia butuh kamu, Karl!” Bela meyakinkanku. “Torta, cowok yang selalu perhatiin kamu dari jauh, tapi tidak kamu kenal,” jelas Bela. Nafasnya sudah teratur sekarang.

            “Cowok yang rambutnya panjang?” aku bertanya. Memastikan.

            “He-eh!” Bela mengangguk mantap.

            Seketika, seperti ada sebuah beban berton-ton yang menimpa dadaku. Sangat menyiksa. Dan kekhawatiran yang kalut. Pemuda berambut panjang yang baru saja aku pikirkan tadi terkena musibah.

            “Kita ke rumah sakit. Sekarang!” kataku sambil menarik tasku dari tempat duduk.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Entahlah. Hatiku terasa memaksa kakiku untuk melangkah menuju rumah sakit. Aku tidak mengenal pemuda itu. Tidak pernah berada dalam satu ruangan. Tidak pernah menyapa. Tidak pernah mengobrol. Tidak pernah saling tersenyum ketika berpapasan. Yang pernah hanya tatapan sekilas dengan seribu tanya. Hanya sebuah tatapan penuh tanyakah yang membuat hatiku tergerak?

            Di sebuah lorong bercat putih dengan bau khas rumah sakit, dua gadis dan dua pemuda terduduk di depan ruangan pasien. Mereka menatapku yang baru tiba dengan pandangan penuh tanya. Tatapan mereka seakan bertanya “Siapa kamu?”. Aku tidak mengetahui nama mereka, tetapi aku mengenali wajah-wajahnya. Mereka satu kampus denganku. Dan tentulah, mereka teman-teman dari pemuda berambut panjang bernama Torta.

            Tanpa ragu karena hatiku sudah menguasai kakiku untuk bergerak, aku membuka pintu kamar pasien. Bau khas rumah sakit semakin menyeruak di hidungku. Cat-cat putih bersih sangat serasi dengan langit kamar, lantai, dan satu brankar di tengah-tengah ruangan.

            “Syukurlah! Yang ditunggu dateng juga.” Pemuda berjenggot tipis dan kulit cokelatnya berkata. Ia kemudian meninggalkan seseorang di atas brankar, dan berjalan ke pintu keluar. Bela yang ada di belakangku, mengikuti pemuda itu.

            Wajah pemuda di atas brankar tampak lelah, tetapi cerah wajahnya tidak memudar sedikit pun. Matanya memandang langkahku yang bergerak mendekat. Balutan perban dengan warna merah darah di tengah-tengahnya, membungkus kaki kanannya.

            “Err ... masih sakitkah?” aku membuka obrolan. Kalimat pertanyaan yang pertama kalinya aku lontarkan pada pemuda berambut panjang itu.

            “Sedikit,” jawabnya tersenyum tipis. Tapi dari raut wajahnya ia sedikit menahan sakit di bagian kaki kanannya.

            “Karli!” aku memperkenalkan diriku. Dan ia terkekeh pelan.

            “Aku sudah tahu namamu setahun yang lalu, sebelum kamu mengenalku,” katanya.

            “Oh ...” hanya itu responku sambil tersenyum aneh. “Kenapa ini bisa terjadi? Kau kecelakaan maksudku.” Aku mencoba mengalihkan obrolan. Kata-kataku kacau.

            “Waktu tadi pagi mau berangkat ke kampus, mobil angkot menyerempet motorku dari samping,” jelasnya. “Dan kata teman-teman yang menolongku, aku memanggil-manggil namamu sepanjang aku tidak sadar.” Ia terkekeh. “Konyol sekali, kan?” tambahnya sambil tertawa.

            Penjelasannya itu membuat ada rasa aneh yang melonjak di hatiku. Perasaan aneh dan tidak nyaman. Tapi, aku berusaha tersenyum mengimbangi tertawanya.

            “Terima kasih sudah mau datang,” katanya tersenyum. Senyumnya tulus sekali menggambarkan kegembiraannya.

            “Aku senang bisa mengurangi beban sakitmu,” jawabku.

            “Aku berharap kamu bukan saja mengurangi beban sakitku, tapi juga mengurangi beban di hatiku,” katanya. Raut wajahnya seperti menimbang-nimbang apakah ini waktu yang tepat?

            “Maksud mu?” aku tak bisa mencerna perkataannya.

            “Aku ingin kau ada di hari-hariku untuk mengurangi beban hatiku yang telah menunggu setahun lebih,” jelasnya tepat, padat, dan berisi. “Aku harap kamu mau mempertimbangkannya,” tambahnya sambil tersenyum.

            Ada yang berlonjak-lonjak di sebagian hatiku, tetapi sebagian hatiku yang lain menentangnya. Seketika, tanpa ada tanda-tanda apapun, bayangan wajah pemuda berkacamata dengan bola mata hitam kecokelatannya itu, muncul di kepalaku. Aku tidak bisa melupakannya.

            Yang aku ingat saat bersama pemuda bernama Torta itu adalah gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku. Dikuncir kebelakang dengan menyisakan setengah bagian rambut di bagian bawah.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Hujan lagi. Langit mendung membuat semuanya berwarna abu-abu di mataku. Sayup-sayup gemericik angin yang membawa titik air dan membuat daun-daun berseru senang. Dan suara-suara timpaan titik air di atap halte hijau depan kampusku, menemani lamunanku yang terduduk di bangku halte sambil memegangi pita emas, dan kartu merah berisi puisi tentang hujan.

            Hanya ada aku sendiri di halte hijau. Angin semakin mencari kesempatan menusuk-nusuk kulit tubuhku. Tetapi, aku tidak peduli. Aku hanya memandangi pita emas dan puisi itu.

            Deru mesin roda dua mengalihkan pandanganku dari pita emas dan puisi yang ada di tanganku. Tiba-tiba hatiku meloncat-loncat riang gembira. Senyumku mengembang. Dan ada rasa tidak sabar ingin memandangnya.

            Ia membuka helm putih bercorak garis hitamnya. Ini sangat tidak terduga. Aku bertemu lagi dengan pemuda berkacamata bernama Ksatrian. Aku tidak sabar ketika ia membuka helm-nya untuk memperlihatkan wajah dan bola mata hitam kecokelatannya yang aku suka.

            “Tampaknya kita memang berjodoh!” katanya terkekeh. Nada suaranya sangat lembut. “Untunglah aku tidak menubrukmu lagi untuk yang ketiga kalinya,” tambahnya sambil tertawa. Ia mengambil posisi duduk di sampingku.

            “Aku sangat senang sekali kita bertemu lagi.” Aku tersenyum lebar. Senyum yang belum pernah aku berikan pada pemuda bernama Torta.

            “Sepertinya hujan memang selalu membiarkan kita untuk bersama.” Ia masih saja tersenyum. Ada kegembiraan mendalam yang aku tangkap dari bola matanya. “Sejujurnya, aku sangat senang sekali kamu ada di sampingku ketika hujan.” Ia tertawa lebar.

            Kalimatnya itu membuatku tersentak. Terkejut bukan main. Kata-katanya hampir sama seperti baris ketiga dan keempat bait pertama dalam puisi yang aku pegang. Apakah pemuda berkacamata ini yang membutanya? Mungkin aku hanya terlalu berharap.

            “Ternyata kamu masih menyimpannya. Aku pikir akan dibuang,” katanya tiba-tiba.

            “Maksudnya?”

            “Kau tahu? Sulit sekali menemukanmu di kampus itu. Aku memasuki kampus dan mencarimu esoknya setelah aku pertama kali menubrukmu di halte ini,” ia menjelaskan sambil masih tersenyum. “Akhirnya aku menemukanmu di perpustakaan. Saat itu, aku hanya ingin kau tahu betapa bahagianya aku bertemu denganmu saat hujan melalui puisi itu,” lanjutnya. Pandangannya tertuju pada puisi dan pita emas yang aku pegang.

            “Jadi singkatnya, kamu yang membuat puisi ini dan memasukkannya ke dalam tasku?” tanyaku tidak percaya. Ini sungguh keajaiban.

            “Tepat!” jawabnya sambil tersenyum senang. Kedua bola matanya berbinar-binar. “Konyol, kan?” tanyanya sambil tertawa.

            “Sangat!” aku menjawabnya. Tawaku lebar dan lepas.

            Hatiku berbunga-bunga dan berlompat-lompat sangat riang. Seluruh hatiku melompat-lompat, bukan hanya sebagian. Aku sangat berharap hujan tak akan pernah reda di sore itu, agar aku dan pemuda berkacamata bernama Ksatrian bisa terus bersama. Dan aku tak akan pernah lelah memandangi kedua bola mata hitam kecokelatannya itu.


:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::


            Cuaca mulai berganti. Hujan telah reda dan matahari mulai lagi memancarkan sinar keemasannya. Hangatnya matahari yang sebenatar lagi akan tenggelam terasa sampai kulit kakiku yang melangkah menuruni tangga perpustakaan.

            Ada hentakan, tetapi tidak terlalu kuat di dalam hatiku. Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas itu menaiki tangga perpustakaan. Ia berjalan berlawanan arah dariku.

            Rambut panjang sebahunya yang tergerai itu bergoyang-goyang mengikuti irama langkahnya. Wajahnya masih saja terlihat cerah. Ia melihat ke arahku. Dan matanya memandang mataku. Kemudian bibirnya melengkung indah. Ia tersenyum. Senyuman yang sangat tulus.

            Aku membalas senyumannya. Alisku terangkat menyiratkan kata “Hai!”. Mulutku tak bisa berkata. Seperti ada yang mengunci bibirku untuk bersuara.

            Hanya itu. Kemudian kami hanya berlalu masing-masing. Bayangan wajah dan rambutnya masih berada di kepalaku ketika kakiku berlanjut menuruni tangga perpustakaan.

            Kali ini, tidak ada yang sama dari kami. Tidak ada yang sama dari warna baju. Tidak ada yang sama dari gaya rambut. Rambut lurusnya tergerai dan rambut ikalku terkuncir setengah. Yang sama hanyalah kami sama-sama tersenyum.


Kemarin, dia hanya siapa?

Hari ini, aku mengenalmu

Esok, ku melihatmu dari sudutku

Lusa, kau hanya pedulikannya

Nanti, hanya waktu yang berkata.


Aku akan tetap tersenyum saat kita bertemu

Meski kamu telah memilihnya ...


Torta          



::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::

Tidak ada komentar:

Posting Komentar