Hijau
Tua dan Merah Marun
Oleh:
Sadryna Evanalia
Cahaya langit keemasan pudar, digantikan warna kelabu oleh
awan-awan hitam. Angin semilir-semilir mendukung panggilan hujan dengan
tiupan-tiupannya. Semua hampir berwarna abu-abu, kalau saja tak ada cahaya orange
lampu jalan di samping halte.
Perlahan namun pasti, titik-titik air dengan tegas jatuh
dari langit. Daun-daun bergoyang-goyang tertiup angin seakan bergembira
helaian-helaian daunnya dibasahi hujan.
Hujan dan angin yang cukup kencang di sore itu membuatku
terpaksa berteduh di sebuah halte. Halte dengan kanopi hijau tua dan tak jauh
dari kampusku.
Aku membersihkan rambut ikal-ku dari titik-titik air yang
sempat menghujani kepalaku. Sementara, bola mataku melirik seseorang yang
tengah berdiri di arah kiriku. Ia berteduh di halte ini juga. Rambutnya panjang
sebahu, lurus, namun agak ikal di tepi kanan dan kirinya. Hidungnya mencuat ke
depan dan kulit wajahnya cerah.
Entahlah, siapa pun dia. Aku tidak peduli. Entah ia satu
kampus denganku atau tidak. Aku belum pernah melihatnya di kampus, atau memang
aku yang terlalu individualis. Menyendiri.
Pemuda itu melirik ke arahku tepat ketika aku
memandanginya. Dengan satu detak jantung yang terhenti, aku mengalihkan
pandanganku ke arah jalan. Aku masih bisa meliriknya dari ekor mataku.
Seseorang dengan rambut pendek yang basah karena hujan
menubrukku dari luar halte.
“Maaf! Titik-titik air ini membuatku sibuk,” katanya
lembut.
Aku hanya tersenyum padanya. Ia kemudian berdiri di samping
kananku kira-kira sejauh dua meter. Ia masih sibuk menyeka titik-titik air di
kepalanya, kemudian berlanjut mengelap kacamata-nya. Alis wajahnya tebal,
hidungnya mancung, dan kulit wajahnya cerah, tetapi tidak terlalu secerah
pemuda berambut panjang di samping kiriku.
Mata kiriku seperti dihunus pandangan yang tajam. Aku
menyadari pemuda di sebelah kiriku memandangiku sejak tadi. Sampai akhirnya
ketika titik-titik air sudah tidak terlalu tegas jatuh dari langit, aku
berjalan keluar dari halte meninggalkan kedua pemuda itu. Yang paling aku ingat
dari keduanya adalah warna baju mereka yang sama dengan warna bajuku. Hijau
tua.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Menghirup wangi angin ....
Memasukkan udara air ke paru-paruku ....
Dan kau ada di sampingku ....
Itu lah saat terindah ketika hujan.
Dan binar pandangan matamu
Mencerahkan langit-langit kelabu ....
Kau tahu?
Kau seperti pelangi
Ingin rasanya ku milikki ....
Puisi ini ku temukan di dalam tasku ketika aku
meninggalkannya sebentar di meja perpustakaan. Kartu merah berisi puisi itu
terbalut pita emas.
Mataku refleks mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan
perpustakaan. Barangkali mataku menangkap seseorang yang tidak sempat
bersembunyi setelah menaruh puisi itu di dalam tasku.
Mataku tidak menemukan seorang pun yang mencurigakan.
Mahasiswa-mahasiswa yang tampangnya kusut mengerjakan skripsi yang terlihat di
pandanganku. Tak mungkin salah satu dari mereka rela menambah kekusutan
wajahnya hanya demi memasukkan puisi aneh itu ke dalam tasku.
Aku memasukkan puisi beserta pita emas itu ke dalam tasku.
Setelah memastikan buku perpustakaan yang aku pinjam ada di tangan, aku
bergegas keluar dari tempat yang isinya wajah-wajah kusut.
Anak-anak tangga keluar dari perpustakaan terlihat sangat
alami. Lapisan semennya sudah mengelupas memperlihatkan bata-bata orange. Di
sisi-sisi anak-anak tangga itu tumbuh lumut-lumut hijau cerah. Aku juga sempat
melihat beberapa semut bermain di lumut-lumut itu.
Jantungku berhenti berdetak satu irama. Pemuda berambut
panjang yang berteduh satu halte denganku kemarin itu, terlihat di pandangan
mataku lagi. Setiap langkahnya berat. Seperti langkah kakinya benar-benar
ditarik gaya gravitasi bumi. Setiap langkah, sepatunya dihentakkan. Langkah
yang dihentakkan itu membuat rambut panjang sebahunya bergoyang mengikuti irama
langkahnya.
Mata kami sekilas bertabrakkan. Dan masing-masing dari kami
mengalihkan pandangan.
Ketika kami berpapasan, ia menunduk. Dan yang paling aku
ingat adalah warna bajunya yang sama dengan warna bajuku hari ini. Merah marun.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Hari berikutnya. Hujan masih saja mengguyur kampusku. Aku
harus mengantar tugasku ke laboratorium. Dan terpaksalah, aku menghantam hujan
tanpa ampun.
Tetes-tetes air menimpa jaket woll biru tua yang aku
kerudungi menyelimuti rambut ikalku. Tetapi, tetap saja, tetes-tetes air itu
meresap ke woll-nya dan membasahi rambutku.
Ketika
tanganku berusaha melindungi wajahku yang tertimpa hujan, aku melihat sosoknya.
Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas. Kedua tangannya
sibuk mengumpulkan seluruh helaian rambut panjangnya. Menariknya ke belakang
dan mengikatnya dengan kunciran hitam.
Tidak ada lagi rambut panjangnya yang biasa menutupi wajah
bagian samping kanan dan kirinya. Rambut panjangnya terikat rapi ke belakang
membuat bentuk dan cerah wajahnya semakin jelas.
Mata kami sesaat bertabrakkan. Dan terbesit perasaan aneh
dan tidak nyaman menyelimuti hatiku sejenak. Kemudian, aku langsung mengalihkan
pandanganku pada titik-titik hujan yang dengan ganas menimpaku.
Hanya tatapan sekilas. Tatapan dengan seribu tanya. Tak ada
senyum atau apapun. Hari ini, warna bajunya pun tidak sama lagi dengan warna
bajuku. Hanya gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku. Dikuncir ke
belakang.
Aku memaksakan kakiku untuk
melangkah lebih cepat. Meski, aku merasakan pandangan tajam pemuda dikuncir ke
belakang itu masih menghunus ke mataku.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Langit hitam dan angin kencang bersahut-sahutan memanggil
hujan. Dan pohon-pohon rindang bergoyang-goyang seirama dengan angin.
Tak sempat aku berjalan mencapai halte hijau tua di depan
kampus, titik-titik air mulai menghujani jaketku. Seakan tak mau kompromi
dengan kakiku yang belum mencapai halte hijau tua, titik-titik air itu semakin
kejam menimpaku.
Aku melindungi kepalaku dengan tas gemblok berwarna hitam.
Pandanganku hanya tertuju pada titik-titik air yang membasahi trotoar. Kemudian,
badanku menubruk seseorang. Tas gemblok berwarna hitamku jatuh di trotoar yang
basah. Dan air di trotoar itu menyerap ke belakang jeans panjangku. Aku
terjatuh. Rasa perih menggerogoti kulit kaki kananku bagian bawah mata kaki.
Kakiku terpeleset di tepi trotoar saat terjatuh.
“Maaf!” kata seseorang itu dengan suara tak jelas.
Tangannya menarik lenganku dan membantuku berdiri.
Seseorang dengan helm putih bercorak garis-garis hitam
memandangiku dengan penuh rasa bersalah. Mata di dalam helm itu berbingkai
kacamata. Kedua bola mata yang sepertinya pernah aku lihat sebelumnya.
“Auw!” pekikku ketika tangannya menyentuh kaki kananku. Ia
mendudukanku di tempat duduk halte hijau, hendak memeriksa kaki kananku yang
terluka.
“Maaf! Sudah dua kali aku menubrukmu hujan-hujan begini!”
nada dengan rasa sesal mengalun dari mulutnya. Kini, ia sudah membuka helm-nya
memperlihatkan alis matanya yang tebal, mata berbingkai kacamata-nya, hidung
mencuatnya, bibir yang memerah, dan bentuk wajahnya yang tirus. Ia, pemuda
berkacamata yang menubrukku di halte yang sama pada hari-hari sebelumnya.
Aku memandanginya dalam diam, sementara ia sibuk membuka
tasnya dan mencari-cari sesuatu di dalamnya. Setelah itu, tangannya mulai
menekan luka di kakiku dengan plester berwarna kuning dengan corak dinasaurus
berwarna-warni.
“Err ... maaf! Aku bisa sendiri!” kata-kata itu yang
meluncur dari mulutku setelah sadar dari pikiran-pikiran di dalam otak.
Padahal, plester itu sudah menempel di lukaku.
“Aku sungguh minta maaf!” katanya penuh penyesalan. Ada
rasa bersalah dalam bola mata hitam kecokelatannya.
“Ksatrian!” katanya sambil mengulurkan tangannya sambil
tersenyum. Senyumnya menambah cerah di wajahnya.
“Karli!” aku menjemput uluran tangannya. Aku tidak
menatapnya, pandanganku hanya tertuju pada jabatan kami.
“Well, hujannya
sudah reda. Aku harus bergegas,” katanya terlebih pada dirinya sendiri sambil
memandang langit di luar halte hijau. “Sekali lagi, Karli, Aku sungguh minta
maaf!” katanya lagi.
“Tidak masalah. Hanya luka kecil, kok!” jawabku sambil
tersenyum.
Ia memakai helm putih bercorak garis hitamnya. Kemudian
bergegas dengan motor-nya.
Aku tidak akan pernah lupa dengan bola mata hitam
kecokelatannya yang terbingkai kacamata itu. Entah mengapa, ada sesuatu rasa
dimana aku selalu ingin memandangnya.
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Pita emas dan kartu merah berisi
puisi yang ku temukan di dalam tas ku saat berada di perpustakaan yang lalu,
membuatku penasaran. Otakku mulai timbul pertanyaan-pertanyaan seputar siapa
yang memberiku puisi ini.
Wanita akan tersentuh jika disentuh.
Ya! itulah aku. Dengan jujur aku merasa tersentuh telah dikirimi pita emas dan
kartu merah berisi puisi romantis seperti itu. Hingga aku berniat berusaha
mencari siapa orang yang membuatnya.
Tiba-tiba, tidak ada hembusan angin
atau apapun, wajah pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas
itu, muncul di pikiranku. Apakah benar dia?
“KARLIIIII!!!!” teriakan gadis
berkuncir dua dan berkacamata itu membuyarkan semua pikiran-pikiranku. Ia
berlari dari luar kelas menuju tempatku duduk dengan tergesa-gesa.
“Ada apa, Bel?” tanyaku penasaran.
Aku mengernyitkan dahi.
“Torta!” Bela mengambil nafas
sejenak. “Torta!” Bela masih terengah-engah.
“Torta? Siapa?” aku bertanya.
Terlalu bingung untuk mencerna Bela yang datang tiba-tiba dengan terengah-engah
sambil menyebut nama Torta yang tidak aku kenal.
“Torta masuk rumah sakit!” Bela
menghembuskan nafasnya. “Dia kecelakaan!” tambahnya.
“Aku tak kenal dengan Torta, Bela.
Siapa Torta?” aku tambah mengernyitkan dahi. Aku tidak kenal siapa Torta, lalu
apa hubungannya Bela memberitahuku Torta itu masuk rumah sakit?
“Torta! Dia butuh kamu, Karl!” Bela
meyakinkanku. “Torta, cowok yang selalu perhatiin kamu dari jauh, tapi tidak
kamu kenal,” jelas Bela. Nafasnya sudah teratur sekarang.
“Cowok yang rambutnya panjang?” aku
bertanya. Memastikan.
“He-eh!” Bela mengangguk mantap.
Seketika, seperti ada sebuah beban
berton-ton yang menimpa dadaku. Sangat menyiksa. Dan kekhawatiran yang kalut.
Pemuda berambut panjang yang baru saja aku pikirkan tadi terkena musibah.
“Kita ke rumah sakit. Sekarang!”
kataku sambil menarik tasku dari tempat duduk.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Entahlah. Hatiku terasa memaksa
kakiku untuk melangkah menuju rumah sakit. Aku tidak mengenal pemuda itu. Tidak
pernah berada dalam satu ruangan. Tidak pernah menyapa. Tidak pernah mengobrol.
Tidak pernah saling tersenyum ketika berpapasan. Yang pernah hanya tatapan
sekilas dengan seribu tanya. Hanya sebuah tatapan penuh tanyakah yang membuat
hatiku tergerak?
Di sebuah lorong bercat putih dengan
bau khas rumah sakit, dua gadis dan dua pemuda terduduk di depan ruangan
pasien. Mereka menatapku yang baru tiba dengan pandangan penuh tanya. Tatapan
mereka seakan bertanya “Siapa kamu?”. Aku tidak mengetahui nama mereka, tetapi
aku mengenali wajah-wajahnya. Mereka satu kampus denganku. Dan tentulah, mereka
teman-teman dari pemuda berambut panjang bernama Torta.
Tanpa ragu karena hatiku sudah
menguasai kakiku untuk bergerak, aku membuka pintu kamar pasien. Bau khas rumah
sakit semakin menyeruak di hidungku. Cat-cat putih bersih sangat serasi dengan
langit kamar, lantai, dan satu brankar di tengah-tengah ruangan.
“Syukurlah! Yang ditunggu dateng
juga.” Pemuda berjenggot tipis dan kulit cokelatnya berkata. Ia kemudian
meninggalkan seseorang di atas brankar, dan berjalan ke pintu keluar. Bela yang
ada di belakangku, mengikuti pemuda itu.
Wajah pemuda di atas brankar tampak
lelah, tetapi cerah wajahnya tidak memudar sedikit pun. Matanya memandang
langkahku yang bergerak mendekat. Balutan perban dengan warna merah darah di
tengah-tengahnya, membungkus kaki kanannya.
“Err ... masih sakitkah?” aku
membuka obrolan. Kalimat pertanyaan yang pertama kalinya aku lontarkan pada
pemuda berambut panjang itu.
“Sedikit,” jawabnya tersenyum tipis.
Tapi dari raut wajahnya ia sedikit menahan sakit di bagian kaki kanannya.
“Karli!” aku memperkenalkan diriku.
Dan ia terkekeh pelan.
“Aku sudah tahu namamu setahun yang
lalu, sebelum kamu mengenalku,” katanya.
“Oh ...” hanya itu responku sambil
tersenyum aneh. “Kenapa ini bisa terjadi? Kau kecelakaan maksudku.” Aku mencoba
mengalihkan obrolan. Kata-kataku kacau.
“Waktu tadi pagi mau berangkat ke
kampus, mobil angkot menyerempet motorku dari samping,” jelasnya. “Dan kata
teman-teman yang menolongku, aku memanggil-manggil namamu sepanjang aku tidak
sadar.” Ia terkekeh. “Konyol sekali, kan?” tambahnya sambil tertawa.
Penjelasannya itu membuat ada rasa
aneh yang melonjak di hatiku. Perasaan aneh dan tidak nyaman. Tapi, aku
berusaha tersenyum mengimbangi tertawanya.
“Terima kasih sudah mau datang,”
katanya tersenyum. Senyumnya tulus sekali menggambarkan kegembiraannya.
“Aku senang bisa mengurangi beban
sakitmu,” jawabku.
“Aku berharap kamu bukan saja
mengurangi beban sakitku, tapi juga mengurangi beban di hatiku,” katanya. Raut
wajahnya seperti menimbang-nimbang apakah ini waktu yang tepat?
“Maksud mu?” aku tak bisa mencerna
perkataannya.
“Aku ingin kau ada di hari-hariku
untuk mengurangi beban hatiku yang telah menunggu setahun lebih,” jelasnya
tepat, padat, dan berisi. “Aku harap kamu mau mempertimbangkannya,” tambahnya
sambil tersenyum.
Ada yang berlonjak-lonjak di
sebagian hatiku, tetapi sebagian hatiku yang lain menentangnya. Seketika, tanpa
ada tanda-tanda apapun, bayangan wajah pemuda berkacamata dengan bola mata
hitam kecokelatannya itu, muncul di kepalaku. Aku tidak bisa melupakannya.
Yang aku ingat saat bersama pemuda
bernama Torta itu adalah gaya rambutnya yang sama dengan gaya rambutku.
Dikuncir kebelakang dengan menyisakan setengah bagian rambut di bagian bawah.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Hujan lagi. Langit mendung membuat
semuanya berwarna abu-abu di mataku. Sayup-sayup gemericik angin yang membawa
titik air dan membuat daun-daun berseru senang. Dan suara-suara timpaan titik
air di atap halte hijau depan kampusku, menemani lamunanku yang terduduk di bangku
halte sambil memegangi pita emas, dan kartu merah berisi puisi tentang hujan.
Hanya ada aku sendiri di halte
hijau. Angin semakin mencari kesempatan menusuk-nusuk kulit tubuhku. Tetapi,
aku tidak peduli. Aku hanya memandangi pita emas dan puisi itu.
Deru mesin roda dua mengalihkan
pandanganku dari pita emas dan puisi yang ada di tanganku. Tiba-tiba hatiku
meloncat-loncat riang gembira. Senyumku mengembang. Dan ada rasa tidak sabar
ingin memandangnya.
Ia membuka helm putih bercorak garis
hitamnya. Ini sangat tidak terduga. Aku bertemu lagi dengan pemuda berkacamata
bernama Ksatrian. Aku tidak sabar ketika ia membuka helm-nya untuk
memperlihatkan wajah dan bola mata hitam kecokelatannya yang aku suka.
“Tampaknya kita memang berjodoh!”
katanya terkekeh. Nada suaranya sangat lembut. “Untunglah aku tidak menubrukmu
lagi untuk yang ketiga kalinya,” tambahnya sambil tertawa. Ia mengambil posisi
duduk di sampingku.
“Aku sangat senang sekali kita
bertemu lagi.” Aku tersenyum lebar. Senyum yang belum pernah aku berikan pada
pemuda bernama Torta.
“Sepertinya hujan memang selalu
membiarkan kita untuk bersama.” Ia masih saja tersenyum. Ada kegembiraan
mendalam yang aku tangkap dari bola matanya. “Sejujurnya, aku sangat senang
sekali kamu ada di sampingku ketika hujan.” Ia tertawa lebar.
Kalimatnya itu membuatku tersentak.
Terkejut bukan main. Kata-katanya hampir sama seperti baris ketiga dan keempat
bait pertama dalam puisi yang aku pegang. Apakah pemuda berkacamata ini yang
membutanya? Mungkin aku hanya terlalu berharap.
“Ternyata kamu masih menyimpannya.
Aku pikir akan dibuang,” katanya tiba-tiba.
“Maksudnya?”
“Kau tahu? Sulit sekali menemukanmu
di kampus itu. Aku memasuki kampus dan mencarimu esoknya setelah aku pertama
kali menubrukmu di halte ini,” ia menjelaskan sambil masih tersenyum. “Akhirnya
aku menemukanmu di perpustakaan. Saat itu, aku hanya ingin kau tahu betapa
bahagianya aku bertemu denganmu saat hujan melalui puisi itu,” lanjutnya.
Pandangannya tertuju pada puisi dan pita emas yang aku pegang.
“Jadi singkatnya, kamu yang membuat
puisi ini dan memasukkannya ke dalam tasku?” tanyaku tidak percaya. Ini sungguh
keajaiban.
“Tepat!” jawabnya sambil tersenyum
senang. Kedua bola matanya berbinar-binar. “Konyol, kan?” tanyanya sambil tertawa.
“Sangat!” aku menjawabnya. Tawaku
lebar dan lepas.
Hatiku berbunga-bunga dan
berlompat-lompat sangat riang. Seluruh hatiku melompat-lompat, bukan hanya
sebagian. Aku sangat berharap hujan tak akan pernah reda di sore itu, agar aku
dan pemuda berkacamata bernama Ksatrian bisa terus bersama. Dan aku tak akan
pernah lelah memandangi kedua bola mata hitam kecokelatannya itu.
:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::
Cuaca mulai berganti. Hujan telah
reda dan matahari mulai lagi memancarkan sinar keemasannya. Hangatnya matahari
yang sebenatar lagi akan tenggelam terasa sampai kulit kakiku yang melangkah
menuruni tangga perpustakaan.
Ada hentakan, tetapi tidak terlalu
kuat di dalam hatiku. Pemuda berambut panjang dengan gaya berjalannya yang khas
itu menaiki tangga perpustakaan. Ia berjalan berlawanan arah dariku.
Rambut panjang sebahunya yang
tergerai itu bergoyang-goyang mengikuti irama langkahnya. Wajahnya masih saja
terlihat cerah. Ia melihat ke arahku. Dan matanya memandang mataku. Kemudian
bibirnya melengkung indah. Ia tersenyum. Senyuman yang sangat tulus.
Aku membalas senyumannya. Alisku
terangkat menyiratkan kata “Hai!”. Mulutku tak bisa berkata. Seperti ada yang
mengunci bibirku untuk bersuara.
Hanya itu. Kemudian kami hanya
berlalu masing-masing. Bayangan wajah dan rambutnya masih berada di kepalaku
ketika kakiku berlanjut menuruni tangga perpustakaan.
Kali ini, tidak ada yang sama dari
kami. Tidak ada yang sama dari warna baju. Tidak ada yang sama dari gaya
rambut. Rambut lurusnya tergerai dan rambut ikalku terkuncir setengah. Yang
sama hanyalah kami sama-sama tersenyum.
Kemarin, dia hanya siapa?
Hari ini, aku mengenalmu
Esok, ku melihatmu dari sudutku
Lusa, kau hanya pedulikannya
Nanti, hanya waktu yang berkata.
Aku akan tetap tersenyum saat kita bertemu
Meski kamu telah memilihnya ...
Torta
::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::